Saat ini, kita hidup pada era di mana teknologi internet sudah menjadi bagian yang tak terpisah dari aktivitas kita. William Gibson dalam buku Neuromancer menyebut era ini sebagai cyberspace (dunia maya) yang dimaknai sebagai suatu bentuk kesadaran tanpa tubuh. Pada era ini, terdapat perbedaan ruang, waktu, gerakan, benda, yang terasa lebih cepat, instan, dan tak terbatas dibanding kehidupan realitas manusia.
Cyberspace menjadi ruang utama bagi kelangsungan generasi bangsa Indonesia, khususnya pemuda. Setiap hari, mereka mengakses ribuan hingga jutaan informasi, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa akses yang dinikmati bisa berdampak negatif, lantaran kaburnya antara kebenaran, dan kebohongan.
Era ini menjadi dunia kata tanpa rupa, yang kerap memengaruhi siapa saja yang mengaksesnya. Maka benar apa yang diungkapkan Antonio Gramci bahwa kita harus waspada dengan dunia kata, karena dia bisa menjadi aparat hegemoni yang amat ampuh dalam menanamkan kesadaran palsu di tengah-tengah masyarakat.
Selaras dengan teori yang diungkapkan Antonio Gramci, saat ini pemberitaan masif tersebar di media. Tak jarang hal itu menjadi pemicu berbagai gesekan di masyarakat. Tak bisa dipungkiri, sudah banyak kasus bentrokan antar warga di Indonesia yang disebabkan oleh pemberitaan di media. Kasus bentrokan itu biasanya menyasar persoalan politik, keyakinan beragama, dan menyangkut unsur SARA. Hal itu terjadi karena masyarakat sebagai konsumen, melahap mentah-mentah informasi yang diterima, dan mudah tersulut emosinya.
Hidup di zaman sekarang memang penuh dengan dilema, salah memilah informasi bisa ribut sana sini. Tidak mengikuti perkembangan informasi, kita menjadi manusia yang tidak mengerti apa yang terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, zaman tidak bisa dibendung, kesiapan manusia dalam menerima informasi harus ditingkatkan.
Salah satu cara cerdas dalam menyikapi informasi adalah dengan melakukan check and re-check. Ketika kita membaca suatu informasi di media, maka jangan menelan mentah informasi tersebut, melainkan perlu melakukan pengecekan kembali dengan cara mencari berita serupa di portal berita yang berbeda.
Hal itu dapat membantu kita sebagai pembaca, untuk menemukan kebenaran informasi yang beredar. Kebanyakan kasus yang terjadi, kita terlalu saklek menafsirkan suatu pemberitaan tanpa melakukan check and re-check sehingga kesimpulan yang dihasilkan semrawut dan abal-abal. Media ibarat jarum suntik, siapa saja yang terkena suntikannya akan merasakan efek yang mampu memengaruhi, bukan hanya pemikiran, tapi juga sikap dan perilaku seseorang.
Mengapa melakukan check and re-check sangat penting? Dengan check and re-check kita bisa membandingkan informasi yang beredar, sehingga terhindar dari berita hoaks. Seperti kita tahu, Hoaks kian merusak sendi-sendi harmoni sosial masyarakat Indonesia. Sepanjang 2019, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat hampir lebih dari 100 hoaks tercipta setiap bulannya. Ironisnya, beberapa ibu rumah tangga ditangkap polisi karena menyebarkan hoaks di medsos. Sementara itu, anak muda cenderung diam saat hoaks mendera, malah terkadang mereka yang memproduksi hoaks tersebut.
Lalu muncul pertanyaan baru, ke mana kita harus melakukan check and re-check? Check and re-check bisa dilakukan ke media-media online yang sudah besar di Indonesia, juga media yang telah mendapat sertifikasi dari Dewan Pers. Cara sederhana mengetahui suatu media kredibel atau tidak adalah dengan melihat apakah dalam media itu tercantum penanggung jawab, alamat redaksi, dan kontak yang jelas. Jika kemudian dalam suatu media tidak ditemukan atau tidak tercantum penanggung jawab, alamat, dan kontak, maka sebagai pembaca kita perlu hati-hati agar tidak terjerumus agenda setting media.
Maka, melakukan check and re-check terhadap informasi sangat penting dilakukan. Meskipun terkadang kita tetap kesulitan dalam membedakan informasi yang benar dan tidak, tetapi check and re-check menjadi solusi cerdas dalam menyikapi pemberitaan di era digital ini. Setidaknya, dengan menanamkan kesadaran itu kita tidak menjadi pemicu kerusuhan dalam masyarakat.
Jangan sampai hanya karena informasi yang beredar, tatanan berkehidupan kita menjadi hancur. Kita tidak lagi merasa aman ketika harus duduk berdampingan dengan seseorang saat menunggu bus di halte, merasa tidak aman ketika berdesak-desakan dalam kereta, lantaran sinisme yang kita bangun akibat tidak adanya check and re-check terhadap informasi. Jika hal demikian terjadi, maka ada yang perlu dibenahi dari kultur literasi kita.
Penulis : Aditia Ardian
Editor : MENFO IKBA