Sebagian dari kita atau bahkan semuanya mungkin pernah merasa cemas dengan kehidupan asmara, karir, juga finansial di masa depan. Masa yang tidak seorangpun dapat menebak itu, dipenuhi dengan hal-hal yang misterius. Terkadang, hal misterius itu menjelma menjadi momok yang menakutkan, mencekam, hingga membuat seseorang depresi, bahkan bisa menggerakkan seseorang untuk bunuh diri.
Kondisi kekhawatiran akan masa depan ini, biasa dirasakan oleh seseorang yang sudah mencapai usia kepala dua atau masa peralihan remaja akhir ke dewasa. Hal semacam ini disebut pula sebagai Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis usia seperempat abad. QLC merupakan kondisi yang dialami seseorang pada rentang usia 20 – 30 tahun, yang ditandai dengan munculnya berbagai kecemasan mengenai kondisi keuangan, pekerjaan, keluarga, hubungan asmara, dan permasalahan lainnya.
Secara sederhana, QLC diartikan sebagai kecemasan seseorang terhadap masa depannya. Contohnya yaitu ketika seseorang mulai merasa takut dengan jurusan kuliah yang diambil lantaran merasa tidak cocok, begitu juga dengan para sarjana yang merasa senang sekaligus bangga ketika diwisuda, tapi di sisi lain mereka menyimpan kesedihan, dan rasa cemas tentang akan melakukan apa setelah perayaan pemindahan tali toga dari kiri ke kanan tersebut.
Menurut Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis menjelaskan bahwa QLC disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh situasi seseorang yang belum menemukan jati dirinya, sementara faktor eksternal disebabkan karena atmosfer kompetitif dari teman, serta tuntutan lingkungan yang semakin kompleks.
QLC bukanlah suatu virus yang perlu dihindari. Ia hanya sebuah fase kehidupan yang pasti dialami oleh seseorang yang mulai mempertanyakan hidupnya. Karena ketika seseorang mulai bertanya akan kehidupannya, berarti ia mulai merasa harus berpikir untuk perubahan ke hidup yang lebih baik.
Satu hal yang perlu dipahami bersama yakni jangan sampai QLC ini menenggelamkan kita, dengan merasa bahwa semua permasalahan yang dialami sangat amat sulit, hingga akhirnya terjebak dalam ketakutan yang dibangun sendiri. Jangan risau ketika kita belum mampu menemukan jati diri, juga jangan menyerah ketika apa yang kita perjuangkan tidak berjalan sesuai harapan. Kita hanya perlu belajar, seperti yang dikatakan Sabrang atau Noe Letto bahwa jati diri bukan untuk dicari, melainkan disadari.
Kita boleh saja merasa tertekan dengan lingkungan sekitar, merasa tidak bahagia dengan pencapaian yang didapat, merasa apa yang dilakukan hanya sia-sia, dan merasa terombang-ambing dengan permasalahan. Namun, apapun permasalahan yang dialami, sekeras apapun ancaman yang menanti, sadarilah bahwa saat ini yang paling penting bukanlah keluhan melainkan tindakan.
Saya teringat, ketika membaca buku Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson. Dalam buku itu, Mark Manson memberi sinyal bahwa kunci keberhasilan manusia adalah sadar. Menurut Manson, seseorang harus siap menerima bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan, karena ketika seseorang merasa dirinya istimewa, hal itu akan membuat dia berhenti belajar, sebab setiap hal buruk dan kegagalan bukan untuk dihindari tapi dihadapi.
Contohnya ketika sakit hati, melakukan pelarian dengan cara makan yang banyak atau berhura-hura agar melupakan sakit hati itu, sebenarnya tidak akan membantu apa-apa. Sesuatu yang harusnya dilakukan adalah menerima bahwa sedang sakit hati dan mencari solusi atas itu. Pelarian tersebut seperti yang dikatakan Manson sifatnya hanya sementara, dan akan membuat seseorang pada posisi semula ketika selesai melakukannya.
Rasa cemas dan takut memang sesuatu yang wajar dirasakan oleh manusia. Hal terpenting yang perlu ditanamkan yakni percayalah bahwa fase sulitmu pada saatnya akan terlampaui dengan baik-baik saja. Tidak usah terlalu memikirkan bagaimana masa depan nanti, yang terpenting jalani hari-harimu dengan pasti, dan mulai terbiasalah dengan segala sesuatu, seperti kata Bung Wira Nagara “Berbiasalah, Berbahagialah.”
Penulis : Aditia Ardian
Editor : MENFO IKBA