Baik, kita awali artikel ini dengan sebuah pertanyaan, mengapa harus mutiara?, bukankah banyak perumpamaan lain yang juga memiliki makna indah, berkilau dan punya nilai?. Ada pesan indah dari seorang guru yang mengutip perkataan Habib Ali al-‘Aththas, yang isinya adalah:
Apabila kamu berbuat baik kepada orang yang baik kepadamu, ketahuailah bahwa kamu adalah orang yang berbakti.
Apabila kamu berbuat baik kepada orang yang tidak baik kepadamu, ketahuilah bahwa kamu adalah mukmin sejati.
Apabila kamu berbuat baik kepada orang yang tidak pernah berbuat baik kepada dirimu atau juga orang lain, ketahuilah bahwa kamu adalah mutiara sejati dan sebenarnya.
Mutiara sejati menjadi gambaran kedudukan tertinggi bagi seorang mukmin, dimana seorang mukmin bisa memainkan perannya dengan konsisten bagaimanapun keadaannya dan dengan siapapun ia dihadapkan. Tentu tak mudah untuk menjadi mutiara sejati yang sebenarnya dan sangat dimungkinkan hanya sepersekian dari kita yang mampu mendapat predikat tersebut, namun semua itu bisa diusahakan. Kita semua punya kesempatan untuk memperoleh predikat tersebut.
Selaknya mutiara yang terbentuk dalam kerang di dasar laut, tentu butuh perjuangan untuk mendapatkannya, butuh usaha keras mengarungi lautan, menerjang berbagai aral melintang demi mendapatkan mutiara dengan kualitas terbaik yang keindahannya membuat semua mata tertuju padanya.
Mutiara nan indah berkilau yang menjadi dambaan setiap orang dan bernilai, tentu tak semerta-merta jadi begitu saja, semua ada prosesnya. Ketahuilah bahwa proses pembentukan mutiara membutuhkan waktu yang sangat panjang dan untuk mengasilkan mutiara yang indah harus ada yang berkorban, sebagaimana kerang yang menahan perihnya segala partikel yang masuk ke dalam tubuhnya kala memproses partikel tersebut menjadi mutiara yang indah dan berkilau.
Perihnya kerang kala memproses partikel-partikel yang masuk kedalam tubuhnya diibaratkan seperti orang-orang yang hadir dikehidupan kita dengan berbagai macam perangai, sebenarnya Allah menghadirkan setiap orang yang berinteraksi dengan kita agar kita bisa mengambil pelajaran dan bisa mengambil setiap hikmah dari setiap peristiwa, misalnya kita dihadirkan dengan seseorang yang baik, secara tidak langsung Allah sedang mengajarkan pada kita agar kita bisa mencontoh kebaikannya.
Sebaliknya, ketika kita dihadapkan dengan seseorang yang memiliki perangai yang kurang baik, bahkan cenderung tidak suka dengan kita, secara tidak langsung Allah mengajarkan kepada kita bagaimana kita mengolah rasa, mengolah sikap, mengolah pikir, dsb. Semua tergantung kita, mau membalasnya dengan sikap yang sama kah? Atau kita berbuat sebaliknya, bagaimana pun sikap orang tersebut kepada kita, kita tetap membalasnya dengan kebaikan. Tentu semua ini tidak mudah, kebanyakan diantara kita akan terbawa emosi dan enggan rasanya berurusan dengan orang tersebut, apalagi jika perbuatannya telah menyentuh bagian paling lembut di dalam organ tubuh kita yakni hati.
Hampir dari setiap kita pasti pernah mengalami suatu kondisi yang kurang mengenakkan, apalagi jika urusannya menyangkut hati. Sakit, berat, sedih pasti menghampiri kita, namun percayalah obat terbaik dari rasa sakit hati adalah waktu. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu perlahan akan mulai terobati, dan ketika kita lebih memilih untuk memaafkan bahkan tetap berbuat baik kepadanya, sampai-sampai misalnya orang tersebut butuh bantuan tapi tak ada yang bisa menolongnya lalu kita tergerak untuk membantunya, tentu butuh hati yang lapang, bukankan untuk memperoleh sesuatu yang indah dan bernilai butuh perjuangan?, selayaknya kerang yang berusaha menahan sakit demi menghasilkan mutiara.
Teruslah belajar untuk senantiasa berbuat baik, sebagaimana Rasulullah SAW, yang telah mencontohkan pada kita untuk menjadi mutiara sejati dan sebenarnya. Jangan pernah bosan untuk selalu memperbaiki diri, karena hakikatnya setiap perbuatan baik yang kita lakukan adalah tentang kita dengan Allah bukan kita dengan orang lain.
Wallahualam Bissawab.
penulis : Lutfi Aulia Rahmadhani
editor : MENFO IKBA