Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang berlimpah, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.
Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak.
Tawadhu’ atau rendah hati merupakan salah satu sifat terpuji sebab itu merupakan akhlak orang mukmin sejati. Seseorang yang bersikap sebaliknya yaitu takabur atau sombong sangat dibenci oleh Allah SWT. Orang takabur diancam tidak akan masuk surga sampai ia bertobat dan tidak lagi menjadi orang takabur.
Allah SWT berfirman, “jangan sekali-kali engkau (Muhammad) tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang kafir), dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka dan bersikap rendah hatilah engkau terhadap orang-orang beriman” (QS 15: 88). Dalam Ihya’ Ulumuddin, diriwayatkan bahwa suatu ketika Yunus bin ‘Ubaid, Ayyub As-Sakhtiani dan al-Hasan al- Basri mendiskusikan arti tawadhu. Hasan berkata, “Tahukah kamu apa itu tawadhu? Tawadhu ialah saat kamu keluar dari rumah dan menjumpai seorang Muslim lalu kamu melihat bahwa orang tersebut memiliki kelebihan daripada dirimu sendiri.”
Hakikat tawadhu ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada Allah SWT. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati. Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Dan sebaliknya, tidak merasa hina ketika dicaci. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Barang siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.”
Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam Risalatul Mu’awanah wa al-Muwazarah menguraikan indikator orang yang memiliki karakter tawadhu. Di antaranya ialah lebih menyukai tidak dikenal ketimbang terkenal, menerima kebenaran dari siapa pun, mencintai orang-orang fakir dan bersosialisasi dengannya, serta bersifat altruistis (bersifat mendahulukan kepentingan orang lain)..
Sudah dijelaskan di muka bahwa lawan dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu an-nas). Abdullah bin ‘Amr pernah bersua dengan Abdullah bin Umar di atas Bukit Shafa, lalu keduanya berhenti sejenak. Kemudian Abdullah bin ‘Amr pergi, sementara Abdullah bin Umar masih berdiri di atas bukit dan menangis. Lantas orang-orang bertanya, “Apakah yang menyebabkanmu menangis?” Ia menjawab, “Sebab Abdullah bin ‘Amr pernah mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa barang siapa dalam hatinya ada sifat takabur seberat biji sawi, niscaya Allah akan membenamkan mukanya dalam api neraka.”
Sejarah telah membuktikan, kesombongan akan selalu berakhir pada jurang kebinasaan. Fir’aun, Namrud, dan Qarun adalah contoh par excellence manusia yang hancur karena keangkuhannya. Ingatlah selalu nasihat Lukman al- Hakim pada anaknya yang terekam abadi dalam Alquran, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS 31: 18).
Dalam Ihya’ diceritakan pula Allah SWT pernah berfirman kepada Nabi Musa, “Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, ia tidak menyombongkan dirinya atas makhluk-Ku, serta hatinya senantiasa takut dan berzikir kepada-Ku, serta ia mengekang nafsunya karena-Ku.” Oleh karena itu, janganlah Anda berbangga hati akan keelokan fisik, jabatan, kekayaan, gelar kesarjanaan, serta berbagai atribut keduniaan lainnya. Sadarilah sedini mungkin bahwa semuanya itu ada rentang batasnya.
Jauhkanlah jiwa kita dari haus eksistensi diri dan ketamakan penghargaan dari sesama manusia. Hargailah sesama karena kemanusiaannya sembari menihilkan diri kita sendiri. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan, esensi tawadhu adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin memuliakannya.
Orang yang sombong karena jabatannya (pemimpin) akan dikumpulkan diakhirat kelak dengan Fir’aun. Sedangkan orang yang sombong karena hartanya akan dikumpulkan dengan qarun. Orang yang sombong karena ilmunya, perlu diketahui bahwa syetan lebih jauh pintar dari manusia. Mudah-mudahan kita terhindar dari sifat sombong, dan kita harus tanamkan dan hiasi diri dengan sifat tawadhu’.
Penulis : Wahyudin
Editor : MENFO IKBA
Barokallah
mantul kang
siip
Alhamdulillah, IKBA sekarang semakin maju.
lanjutkan
👍👍👍 keren