You are currently viewing TEORI TANPA PRAKTIK ITU OMONG KOSONG, BENARKAH?

TEORI TANPA PRAKTIK ITU OMONG KOSONG, BENARKAH?

Ketika saya berselancar di dunia maya, saya menemukan story whatsApp teman yang menuliskan “teori tanpa praktik = bulshit“. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, bulshit memiliki arti omong kosong. Dari sambatan teman saya itu, Saya cukup tergelitik untuk mencoba menggali lebih jauh apa sebenarnya yang bisa dipahami dari perkataan tersebut.

Di usia yang sudah kepala dua ini, saya mengamati banyak hal, terutama perilaku manusia. Menurut saya, manusia baik dari zaman dahulu atau sekarang, dalam melaksanakan suatu aktivitas terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan teoritis dan praktis. Golongan teoritis percaya bahwa dengan memahami teori terlebih dahulu akan memermudah seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Prinsip yang biasanya digunakan adalah “praktik tanpa teori sama saja seperti orang buta yang menyeberang di jalan raya”.

Sementara golongan praktis, percaya bahwa dengan langsung mengerjakan sesuatu, maka hasilnya akan langsung terlihat, dan teori bisa didapatkan dan dipahami ketika seseorang sudah mengerjakan sesuatu. Adapun prinsip yang kental dari golongan ini adalah “praktik tanpa teori pasti jadi ilmu, tapi teori tanpa praktik akan jadi ilmu omong kosong”.

Secara sederhana, kelompok teoritis memiliki karakteristik “beberapa kata untuk satu tindakan, dan tidak menutup kemungkinan menghasilkan beberapa tindakan pula”. Sedangkan kelompok praktis condong pada narasi populer “satu kata, satu tindakan”. Dari perdebatan yang sering kita alami tersebut, lantas muncul pertanyaan dasar tapi menarik yakni lebih baik dahulukan teori atau praktik?

Perdebatan kedua hal ini muncul, seringkali didasarkan pada pengalaman yang masing-masing individu alami. Saat seseorang memiliki teman yang banyak bicara, selalu memberi pendapat, memberi konsep, tapi ketika diminta untuk mengerjakan, tidak ada satupun pekerjaan yang berhasil terselesaikan. Maka berdasarkan pengalaman ini, pandangan seseorang terhadap posisi teori dan praktik akan cenderung melemahkan teori, begitupun bila yang terjadi sebaliknya.

Lantas bagaimana seharusnya kita menempatkan teori dan praktik dalam kehidupan? Sebelum menempatkan lebih jauh posisi teori dak praktik, kita perlu melihat lebih banyak dan jauh mengenai persoalan ini. Teori dan praktik hidup di antara sendi-sendi kehidupan kita, dan pada beberapa kasus, salah satu di antara keduanya memang lebih baik untuk diutamakan.

Sebut saja tukang tambal ban, secara ilmu pengetahuan (teori) tentang kimia pembakaran, tukang tambal ban itu tidak memiliki. Teori semacam itu, hanya dimiliki oleh orang yang memang memelajari keilmuan tersebut. Tapi dalam hal ini, tukang tambal ban bisa menyelesaikan praktik tanpa teori dengan baik, yang bahkan mahasiswa kimia pun mungkin tidak bisa melakukan secara baik meskipun memahami teorinya.

Lebih luas, perdebatan soal teori dan praktik ini menjadi sesuatu yang menarik dibicarakan. Ketika sedang mengobrol di sebuah warung dengan tiga gelas minuman dan beberapa makanan hangat, teman saya berujar, “pada kenyataannya, yang paling penting itu adalah praktiknya, karena teori bisa dipelajari sesuai dengan kondisi lapangan”. Saya mencerna baik-baik kata-katanya, kemudian mencoba mendalami makna dari apa yang disampaikan, dan bagi saya tidak ada yang salah dari ungkapannya.

Saya mencoba mencari literatur, untuk membuktikan ungkapan teman saya itu. Dan ada satu paradigma baru yang saya dapatkan mengenai penjelasan teori, bahwa pada dasarnya teori adalah proven best practice atau praktik yang sudah pernah teruji sebelumnya. Akan tetapi, kadang kala muncul persoalan lain yakni terjadinya ketidaksesuaian antara teori dan praktik ketika diaplikasikan. Dalam hal ini, apabila sebuah teori belum bisa diterapkan secara ideal dalam suatu keilmuan atau pekerjaan, bisa jadi masalahnya bukan pada teorinya, tetapi perlu justifikasi lebih lanjut agar bisa sesuai dengan tempat penerapannya.

Terlepas dari berbagai anggapan yang muncul, teori dan praktik nyatanya memiliki keterikatan yang saling membangun. Ketika seseorang memelajari teori tertentu, maka pikirannya akan mengarah kepada “bagaimana suatu hal itu dapat bekerja…”, sementara ketika melaksanakan praktik, pikirannya mengarah kepada “bagaimana jika saya…” atau “apa yang terjadi jika…” Pikiran kita akan mengonsep demikian, yang bertujuan untuk mencari bukti akan kebenaran teori yang telah dipelajari.

Dalam akhir tulisan ini, saya memberi kesimpulan bahwa tidak ada yang salah dari dua pandangan ini, karena pada dasarnya, keduanya memiliki sifat saling membutuhkan. Teori tanpa praktik memang terlihat seperti takhayul belaka, begitupun dengan praktik tanpa teori, seperti bekerja tanpa tuntunan.

Contohnya, ketika kita membeli barang baru, dan barang itu belum pernah kita lihat sebelumnya, baik cara memasangnya, cara kerjanya, dan sebagainya. Jika kita hanya bermodal berani untuk memasang dan mencoba tanpa membaca buku manual yang ada, maka ada kekhawatiran barang tersebut justru rusak, dan tak berfungsi. Maka, teori dan praktik bisa berjalan beriringan, bisa pula berjalan sendiri-sendiri, tergantung aktivitas apa yang akan dikerjakan, dan seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan.

Penulis :  Aditia Ardian

Editor : MENFO IKBA

Bagikan Yuk!

This Post Has 2 Comments

  1. Ikbal

    Mantap. Sangat inspirasi
    Ditunggu tulisan selanjutnya

Comments are closed.